Hati yang sekeras apa pun akan segera mencair begitu memandang
keajaiban ciptaan Tuhan. Matanya hitam dalam dan bersinar bagaikan mata rusa.
Dengan kibasan bulu matanya yang mampu mengubah seluruh isi hatiku menjadi
puing-puing kecil. Mulutnya yang mungil terbuka hanya untuk mengucapkan hal-hal
yang indah. Seindah parasnya yang beroleskan doa. Dan hatinya terbuat dari
kedalaman sekaligus keluasan. Seketika aku jadi ingat bait lagu grup nasyid
islami dari negara tetangga Hijaz. Yang bait lagunya seperti ini: pandangan
mata selalu menipu, pandangan akal selalu bersalah, pandangan nasfu selalu
melulu, pandangan hati yang selalu hakiki, kalau hati itu bersih.
Tak tahu apa yang terjadi pada diriku sendiri. Atau ini proses
dari Tuhan. Aku baru saja dibangkitkan dari sebuah penderitaan yang begitu
panjang. Biarkan Tuhan membasuh semua noda-noda yang masih tersisa di hatiku.
Semacam itulah dua ruang jeda yang diciptakan oleh Tuhan. Supaya adanya penyatuan
suara hening perasaan dengan sajak-sajak merdu sebuah doa dari ruang rindu.
Semenjak itu aku pun merasa ada sesuatu yang berdesiran di dalam dada.
Barangkali aku telah jatuh hati pada seorang pada pandangan pertama. Sungguh
amat konyol bagi diriku sendiri. Semudah itu hatiku telah tertinggal di
seseorang yang kedua bola matanya hitam dalam bagaikan mata rusa.
Dan tak butuh lama. Semua pikiranku mulai terisi benih-benih
yang terbuat dari bulir bening serupa air mata. Yang ditaburkan oleh para dewa
di ladang hati manusia. Bahkan sebagian ruang di hatiku telah dipenuhi oleh
bayangan gelap. Segelap sorot mata yang terperangkap di pandangan pertama.
Setahu aku Tuhan tidak pernah memaksa hamba-Nya untuk jatuh cinta. Yang ada
hanya gerakan hati untuk mencari arti sebuah ketenangan jiwa yang suci. Semacam
sentuhan lembut yang diberikan oleh jari-jemari angin untuk mengungkapkan
betapa kuasanya Tuhan menciptakan rasa cinta. Begitu cepat secepat hembusan
napas yang menggoyangkan ranting pohon cabang pertama kehidupan. Dan aku pun
mendengar suara hening pada desah daun basah di pagi buta.
Aku tak tahu harus mulai dari mana. Sungguh belum tahu. Bagaimana
aku menyapanya. Bila aku menyapanya dengan kata. Selalu saja menepi di balik
suara. Atau dengan suara? Pasti kalah dirumat habis oleh nada. Ternyata hatiku
telah resah. Yang selalu saja tertutupi dengan sinar rembulan pembawa secercah
harapan. Dari tetesan air mata beroleskan doa pada Tuhan. Resah bikin hati tak
tenang. Begitulah perasaan yang sedang aku alami. Memang amat sangat sentoloyo
bagi diriku sendiri. Dan aku pun tak akan pernah menyalahkannya. Dari semua
peristiwa yang aku alami saat ini. Aku sadar ini telah diatur oleh Tuhan. Bisa
dikatakan semua pertemuan ini merupakan takdir atau barangkali sebuah anugerah
yang diberikan oleh Tuhan. Tapi jatuh cinta dalam tempo sesingkat ini adalah
sebuah perlawanan. Lalu pikiranku yang terperangkap di kedua bola matanya yang
hitam dalam. Semua telah aku rasionalkan.
Ternyata aku sadar bahwa aku belum mampu meluluhkan hatinya.
Yang aku tahu bahwa perlawanan harus dengan sebuah perjuangan yang tak mudah.
Termasuk perlawanan merebut hatinya. Sebab aku tak perlu terburu-buru untuk
jatuh cinta. Aku harus berjuang selayaknya kisah cinta Sutan Syahrir dengan
Maria Duchateau. Yang harus berpisah terlebih dahulu. Untuk meraih titik-titik
keindahan di puncak akhir suatu perlawanan. Dan aku pun mengambil pelajaran
dari situ: Jika di balik keindahan cinta justru akan membutakan mata hatiku.
Yang ada aku harus menenangkan semua pikiran dan hati secara
vertikal ke arah-Mu (Tuhan kami pencipta alam semesta ini). Yang membuat hati
tenang tanpa ada pikiran untuk membangkang dari usapan air wudu secara
horizontal dari pikiran turun ke hati. Sekaligus menciptakan kesucian agar
selalu bening sebening warna kopi hitam pekat yang tetap suci. Hal semacam
itulah caraku menenangkan pikiran yang mulai tertutupi dengan tabir kegelapan.
Segelap tinta yang meneteskan rasa resah ataupun gelisah. Dan
aku pun dari situ mulai menemukan kesyahduan yang luar biasa. Memang di saat
menghadap Tuhan adalah solusi yang tepat untuk mencairkan waktu yang membatu.
Lebih damai lagi pas aku menyatu dengan alunan yang indah di sepertiga malam.
Aku larut dalam kabut di kesunyian tanpa kata-kata. Lalu hatiku berkata, “Semua
ini adalah misteri yang begitu suci. Tapi bagi mereka yang tak mencinta. Ini
tak lain hanya sekedar lelucon tanpa hati di ruang rindu.”
Dan tahukah? Kegaduhan paling romantis terhadap Tuhan. Itu
rinduku di sepertiga malam. Dan dia itu menjelma berupa embun yang menetes dari
kedua kelopak mata yang begitu bening. Dan aku sebagai pecandu rindu dalam doa.
Yang menderas kerinduan pada seribu tanah yang ada jejak-jejak langkahnya.
Ujung akhirannya di puncak sajak-sajak merdu sebuah doa. Aku suka caraku merindu.
Semoga tak ada lagi yang merebutnya dari genggaman doa. Dan maafkan aku belum
mampu menghubunginya untuk saat ini.
Aku bersikap semacam itu bukan sok suci pada diriku sendiri.
Aku hanya bermaksud ingin menjaga cinta dengan sebaik-baiknya. Agar cintaku.
Maaf maksudnya cinta kita tak tertambatkan dengan sia-sia sebelum waktunya.
Lebih baik aku berusaha berdoa dan bersabar dalam sebuah penantian. Sekaligus
berakhir dengan indah. Namun jika toh pada akhirnya. Dia seorang yang namanya
selalu aku selipkan pada ucapanku pada Tuhan. Belum mampu tersenyum ramah untuk
membukakan hatinya. Meskipun dengan segenap usahaku masih saja sulit untuk
membuka pintu hatinya. Semua harapanku tak akan pernah musnah. Aku masih punya
Tuhan yang telah mencatat semua alunan doaku pada langit. Dan aku pula yakin
kita akan dipertemukan di akhirat bersama kumpulan manusia yang kita cintai.
Dengan secercah harapan itu. Tulisan ini aku akhiri pula.