Kamis, 29 September 2016

Doa Adalah Ekspresi Rindu Ku


Hati yang sekeras apa pun akan segera mencair begitu memandang keajaiban ciptaan Tuhan. Matanya hitam dalam dan bersinar bagaikan mata rusa. Dengan kibasan bulu matanya yang mampu mengubah seluruh isi hatiku menjadi puing-puing kecil. Mulutnya yang mungil terbuka hanya untuk mengucapkan hal-hal yang indah. Seindah parasnya yang beroleskan doa. Dan hatinya terbuat dari kedalaman sekaligus keluasan. Seketika aku jadi ingat bait lagu grup nasyid islami dari negara tetangga Hijaz. Yang bait lagunya seperti ini: pandangan mata selalu menipu, pandangan akal selalu bersalah, pandangan nasfu selalu melulu, pandangan hati yang selalu hakiki, kalau hati itu bersih.
Tak tahu apa yang terjadi pada diriku sendiri. Atau ini proses dari Tuhan. Aku baru saja dibangkitkan dari sebuah penderitaan yang begitu panjang. Biarkan Tuhan membasuh semua noda-noda yang masih tersisa di hatiku. Semacam itulah dua ruang jeda yang diciptakan oleh Tuhan. Supaya adanya penyatuan suara hening perasaan dengan sajak-sajak merdu sebuah doa dari ruang rindu. Semenjak itu aku pun merasa ada sesuatu yang berdesiran di dalam dada. Barangkali aku telah jatuh hati pada seorang pada pandangan pertama. Sungguh amat konyol bagi diriku sendiri. Semudah itu hatiku telah tertinggal di seseorang yang kedua bola matanya hitam dalam bagaikan mata rusa.
Dan tak butuh lama. Semua pikiranku mulai terisi benih-benih yang terbuat dari bulir bening serupa air mata. Yang ditaburkan oleh para dewa di ladang hati manusia. Bahkan sebagian ruang di hatiku telah dipenuhi oleh bayangan gelap. Segelap sorot mata yang terperangkap di pandangan pertama. Setahu aku Tuhan tidak pernah memaksa hamba-Nya untuk jatuh cinta. Yang ada hanya gerakan hati untuk mencari arti sebuah ketenangan jiwa yang suci. Semacam sentuhan lembut yang diberikan oleh jari-jemari angin untuk mengungkapkan betapa kuasanya Tuhan menciptakan rasa cinta. Begitu cepat secepat hembusan napas yang menggoyangkan ranting pohon cabang pertama kehidupan. Dan aku pun mendengar suara hening pada desah daun basah di pagi buta.
Aku tak tahu harus mulai dari mana. Sungguh belum tahu. Bagaimana aku menyapanya. Bila aku menyapanya dengan kata. Selalu saja menepi di balik suara. Atau dengan suara? Pasti kalah dirumat habis oleh nada. Ternyata hatiku telah resah. Yang selalu saja tertutupi dengan sinar rembulan pembawa secercah harapan. Dari tetesan air mata beroleskan doa pada Tuhan. Resah bikin hati tak tenang. Begitulah perasaan yang sedang aku alami. Memang amat sangat sentoloyo bagi diriku sendiri. Dan aku pun tak akan pernah menyalahkannya. Dari semua peristiwa yang aku alami saat ini. Aku sadar ini telah diatur oleh Tuhan. Bisa dikatakan semua pertemuan ini merupakan takdir atau barangkali sebuah anugerah yang diberikan oleh Tuhan. Tapi jatuh cinta dalam tempo sesingkat ini adalah sebuah perlawanan. Lalu pikiranku yang terperangkap di kedua bola matanya yang hitam dalam. Semua telah aku rasionalkan.
Ternyata aku sadar bahwa aku belum mampu meluluhkan hatinya. Yang aku tahu bahwa perlawanan harus dengan sebuah perjuangan yang tak mudah. Termasuk perlawanan merebut hatinya. Sebab aku tak perlu terburu-buru untuk jatuh cinta. Aku harus berjuang selayaknya kisah cinta Sutan Syahrir dengan Maria Duchateau. Yang harus berpisah terlebih dahulu. Untuk meraih titik-titik keindahan di puncak akhir suatu perlawanan. Dan aku pun mengambil pelajaran dari situ: Jika di balik keindahan cinta justru akan membutakan mata hatiku.
Yang ada aku harus menenangkan semua pikiran dan hati secara vertikal ke arah-Mu (Tuhan kami pencipta alam semesta ini). Yang membuat hati tenang tanpa ada pikiran untuk membangkang dari usapan air wudu secara horizontal dari pikiran turun ke hati. Sekaligus menciptakan kesucian agar selalu bening sebening warna kopi hitam pekat yang tetap suci. Hal semacam itulah caraku menenangkan pikiran yang mulai tertutupi dengan tabir kegelapan.
Segelap tinta yang meneteskan rasa resah ataupun gelisah. Dan aku pun dari situ mulai menemukan kesyahduan yang luar biasa. Memang di saat menghadap Tuhan adalah solusi yang tepat untuk mencairkan waktu yang membatu. Lebih damai lagi pas aku menyatu dengan alunan yang indah di sepertiga malam. Aku larut dalam kabut di kesunyian tanpa kata-kata. Lalu hatiku berkata, “Semua ini adalah misteri yang begitu suci. Tapi bagi mereka yang tak mencinta. Ini tak lain hanya sekedar lelucon tanpa hati di ruang rindu.”
Dan tahukah? Kegaduhan paling romantis terhadap Tuhan. Itu rinduku di sepertiga malam. Dan dia itu menjelma berupa embun yang menetes dari kedua kelopak mata yang begitu bening. Dan aku sebagai pecandu rindu dalam doa. Yang menderas kerinduan pada seribu tanah yang ada jejak-jejak langkahnya. Ujung akhirannya di puncak sajak-sajak merdu sebuah doa. Aku suka caraku merindu. Semoga tak ada lagi yang merebutnya dari genggaman doa. Dan maafkan aku belum mampu menghubunginya untuk saat ini.
Aku bersikap semacam itu bukan sok suci pada diriku sendiri. Aku hanya bermaksud ingin menjaga cinta dengan sebaik-baiknya. Agar cintaku. Maaf maksudnya cinta kita tak tertambatkan dengan sia-sia sebelum waktunya. Lebih baik aku berusaha berdoa dan bersabar dalam sebuah penantian. Sekaligus berakhir dengan indah. Namun jika toh pada akhirnya. Dia seorang yang namanya selalu aku selipkan pada ucapanku pada Tuhan. Belum mampu tersenyum ramah untuk membukakan hatinya. Meskipun dengan segenap usahaku masih saja sulit untuk membuka pintu hatinya. Semua harapanku tak akan pernah musnah. Aku masih punya Tuhan yang telah mencatat semua alunan doaku pada langit. Dan aku pula yakin kita akan dipertemukan di akhirat bersama kumpulan manusia yang kita cintai. Dengan secercah harapan itu. Tulisan ini aku akhiri pula.

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.