Rabu, 08 Oktober 2014

PEMBAHASAN BATIK



Apa itu yang disebut dengan budaya batik

Kata batik cukup populer dikalangan masyarakat Indonesia  khususnya Jawa. Ikhwal orang yang memperkenalkan kata batik dalam dunia International tidak diketahui dengan jelas. Berdasarkan catatan sejarah, pada tahun 1705 seorang Belanda bernama Chastelain telah menggunakan istilah “batex” (batik) dalam laporannya kepada Gubernur Belanda Rijcklof Van Goens (Veldhuisen, 1999: 22). Menurut Hamzuri dalam bukunya yang berjudul Batik Klasik menyatakan bahwa : Batik adalah cara untuk   memberi hiasan pada kain dengan cara menutupi bagian-bagian tertentu dengan menggunakan perintang. Zat perintang yang sering digunakan ialah lilin atau malam.kain yang sudah digambar dengan menggunakan malam kemudian diberi warna dengan cara pencelupan.setelah itu malam dihilangkan dengan cara merebus kain. Akhirnya dihasilkan sehelai kain yang disebut batik berupa beragam motif yang mempunyai sifat-sifat khusus (1981: VI).

Berdasarkan pengertian batik diatas, dapat dikatakan jika suatu kain mengunakan lilin dan malam dalam pengerjaannya walaupun tidak mempunyai corak batik, sudah dapat dikatakan sebagai kain batik. Sebaliknya, walaupun kain itu bermotif batik, tapi dalam pengerjaannya tidak menggunakan lilin dan malam tidak disebut dengan batik. Mengenai penulisan kata “batik” menurut Kalinggo Hanggopuro (2002, 1-2) di dalam buku Bathik merupakan Busana Tatanan dan Tuntunan. Ia  menuliskan bahwa, para penulis terdahulu menggunakan istilah batik yang sebenarnya ditulis dengan kata “batik” akan tetapi seharusnya “ bathik”. Hal ini mengacu pada huruf Jawa “tha” bukan “ta” dan pemakaian bathik sebagai rangkaian dari titik adalah kurang tepat atau dikatakan salah.

Sejarah Batik

Sejarah perkembangan batik kita tidak lepas dari pengaruh masyarakat dahulu, sebagaimana diteliti, batik Indonesia berhubungan erat dengan kerajaan Majapahit. Batik Indonesia mulai berkembang pada abad ke-18 dan 19, yang mula-mulanya berkembang di pulau Jawa.

Mulanya batik itu hanya berkembang di linkungan keraton saja, yang dikerjakan dan digunakan oleh warga di lingkungan keraton saja. Lama-kelaman batik meluas sampai keluar dari lingkungan keraton, yang menjadi pekerjaan wanita rumah tangga untuk mengisi waktu senggang mereka.akhirnya batik yang dulunya hanya digunakan oleh masyarakat keraton, setaelah itu meluas dan digunakan oleh seluruh masyarakat.

Berikut ini beberapa tahap  perkembangan batik indonesia, yaitu:

1.     Zaman Majapahit

Batik yang telah menjadi kebudayaan di kerajaan Majahit, dapat ditelusuri di daerah Mojokerto dan Tulunggung. Ciri khas batik ini hampir sama dengan batik-batik keluaran Yogyakarta, yaitu dasarnya putih dan warna coraknya coklat muda dan biru tua. Saat berkecamuknya clash antara tentara kolonial Belanda dengan pasukan-pasukan pangeran Diponegoro, sebagian dari pasukan Kyai Mojo mengundurkan diri ke arah timur (sekarang bernama Majan). Sejak zaman penjajahan Belanda hingga zaman kemerdekaan ini desa Majan berstatus desa Merdikan (Daerah Istimewa), dan kepala desanya seorang kiyai yang statusnya tirun-temurun. Pembuatan batik Majan ini merupakan naluri (peninggalan) dari seni membuat batik zaman perang Diponegoro itu.

1.     Zaman Penyebaran Islam

Perkembangan batik Indonesia selanjutnya berkembang pada masa perkembangan islam ayaitu di daerah Ponorogo. Yang membawa islam kedaerah Ponorogo ini yaitu Raden Kotong (adik Raden Patah). Waktu itu seni batik baru terbatas dalam lingkungan keraton. Oleh karena putri keraton Solo menjadi istri Kyai Hasan Basri maka dibawalah ke Tegalsari dan diikuti oleh pengiring-pengiringnya. Di samping itu banyak pula keluarga keraton Solo belajar di pesantren ini. Peristiwa inilah yang membawa seni batik keluar dari keraton menuju ke Ponorogo. Pembuatan batik cap di Ponorogo baru dikenal setelah perang dunia I yang dibawa oleh seorang Cina bernama Kwee Seng dari Banyumas. Daerah Ponorogo awal abad ke-20 terkenal batiknya dalam pewarnaan nila yang tidak luntur dan itulah sebabnya pengusaha-pengusaha batik dari Banyumas dan Solo banyak memberikan pekerjaan kepada pengusaha-pengusaha batik di Ponorogo

1.      Pembatikan di Jakarta

Sejak zaman sebelum Perang Dunia I (PD I), Jakarta telah menjadi pusat perdagangan antar daerah di Indonesia. Setelah PD I (saat proses pembatikan cap mulai dikenal), produksi batik meningkat dan pedagang-pedagang batik mencari daerah pemasaran baru. Daerah pemasaran untuk tekstil dan batik di Jakarta yang terkenal ialah: Tanah Abang, Jatinegara dan Jakarta Kota. Batik-batik produksi daerah Solo, Yogya, Banyumas, Ponorogo, Tulungagung, Pekalongan, Tasikmalaya, Ciamis dan Cirebon serta lain-lain daerah, bertemu di Pasar Tanah Abang. Dari sini baru dikirim ke daerah-daerah di luar Jawa. Oleh karena pusat pemasaran batik sebagian besar di Jakarta, khususnya Tanah Abang, dan juga bahan-bahan baku batik diperdagangkan di tempat yang sama, maka timbul pemikiran dari pedagang-pedagang batik itu untuk membuka perusahaan batik di Jakarta. Tempat yang dipilih berdekatan dengan Tanah Abang. Pengusaha-pengusaha batik yang muncul sesudah PD I, terdiri dari bangsa Cina, dan buruh-buruh batiknya didatangkan dari daerah-daerah pembatikan Pekalongan, Yogya, dan Solo.

1.     Pembatikan di Luar Jawa

Sumatera Barat termasuk daerah konsumen batik sejak zaman sebelum PD I, terutama batik-batik produksi Pekalongan, Solo, dan  Yogya. Di Sumatera Barat yang berkembang terlebih dahulu adalah industri tenun tangan yang terkenal tenun Silungkang dan tenun Plekat. Pembatikan mulai berkembang di Padang setelah pendudukan Jepang. Sejak putusnya hubungan antara Sumatera dengan Jawa waktu pendudukan Jepang, persediaan batik yang ada pada pedagang batik sudah habis. Ditambah lagi setelah kemerdekaan Indonesia, hubungan antara kedua pulau bertambah sulit. Semua ini akibat blokade-blokade Belanda. Maka pedagang-pedagang batik yang biasa berhubungan dengan pulau Jawa mencari jalan untuk membuat batik sendiri.

Dengan hasil karya sendiri dan penelitian yang seksama, dari batik-batik yang dibuat di Jawa, ditirulah pembuatan pola-polanya dan diterapkan pada kayu sebagai alat cap. Obat-obat batik yang dipakai juga hasil buatan sendiri yaitu dari tumbuh-tumbuhan seperti mengkudu, kunyit, gambir, dammar, dan sebagainya. Bahan kain putihnya diambilkan dari kain putih bekas dan hasil tenun tangan. Perusahaan batik pertama muncul yaitu daerah Sampan Kabupaten Padang Pariaman tahun 1946 antara lain; Bagindo Idris, Sidi Ali, Sidi Zakaria, Sutan Salim, Sutan Sjamsudin dan di Payakumbuh tahun 1948 Sdr. Waslim (asal Pekalongan) dan Sutan Razab.

1.     Batik Indonesia dikenal oleh dunia internasional

Perwakilan RI di negara anggota ­­Tim Juri (Subsidiary Body), yaitu di Persatuan Emirat Arab, Turki, Estonia, Mexico, Kenya dan Korea Selatan serta UNESCO-Paris, memegang peranan penting dalam memperkenalkan batik secara lebih luas kepada para anggota Subsidiary Body, sehingga mereka lebih seksama mempelajari dokumen nominasi Batik Indonesia.
UNESCO mencatat Batik Indonesia dan satu usulan lainnya dari Spanyol merupakan dokumen nominasi terbaik dan dapat dijadikan contoh dalam proses nominasi mata budaya tak-benda di masa­­­­­datang.

UNESCO mengakui bahwa Batik Indonesia mempunyai teknik dan simbol budaya yang menjadi identitas rakyat Indonesia mulai dari lahir sampai meninggal, bayi digendong dengan kain batik bercorak simbol yang membawa keberuntungan, dan yang meninggal ditutup dengan kainbatik. UNESCO memasukkan Batik Indonesia ke dalam Representative List karena telah memenuhi kriteria, antara lain kaya dengan simbol-simbol dan filosofi kehidupan rakyat Indonesia.

Jenis- jenis batik Indonesia meliputi :

1.     Batik klasik

Batik klasik merupakan suatu karya seni yang bersifat kuno atau tradisi yang memiliki kadar keindahan tinggi. Berkembang pesat dan mencapai puncaknya serta tidak luntur sepanjang masa, karena bermakna filosofis, yaitu mengandung unsur-unsur ajaran hidup yang banyak digunakan khususnya

Keindahan batik klasik terletak pada susunan motif, warna, pola dan teknik pembuatannya yang sangat sempurna, motifnya banyak yang menerapkan motif gubahan (slitiran) baik bentuk binatang, batu-batuan, awan, air, tumbuhan, gunung api dan sebagainya (Hamzuri,1981:36). Batik di Indonesia telah mengalami perkembangan desain sebagai akibat dari perpaduan dengan berbagai budaya yang pernah masuk ke Nusantara.

Keindahan batik klasik ada 2 macam, yaitu:

1) Keindahan visual, yaitu rasa indah yang diperoleh karena perpaduan yang harmoni dari susunan bentuk dan warna melalui penglihatan panca indera.

2) Keindahan jiwa atau filosofi, yaitu rasa indah yang diperoleh karena susunan arti atau lambang yang membuat gambar sesuai dengan paham yang dimengerti (Susanto, 1980: 179)

Batik klasik  dibuat untuk mewujudkan nilai-nilai budaya Jawa merupakan batik yang dipengaruhi oleh nilai tradisi Jawa dan didukung oleh kalanga bangsawan karaton Yogyakarta dan Surakarta (Hasanudin, 2001: 21). Dalam budya Jawa, khususnya di lingkungan Karaton, terdapat ketentuan yang menyangkut keluarga raja dan pejabat karaton dalam bertindak, berbicara, dan berpakaian agar sesuai dengan aturan karaton. Karaton memandang perlu untik membuat aturan supaya kedudukan raja tetap kuat dan mutlak. Kehalusan bukan saja dalam bahasa tetapi juga diwujudkan dalambahasa rupa. Memilih kain, menetapkan corak, menggambarkan ragam hias, dan memilih warna terkait dengam tujuan pencapaian tingkatan yang lebih halus, khususnya bagi lingkungan karaton. Ketetapan raja yang menyangkut busana karaton dapat diartikan sebagai perintah untuk meningkatka ketrampilan, kerajinan, dan kehalusandalam tata busana karaton, khususnya kain batik. Salah satu aturan yang melarang pemakaian corak batik tertentu dikeluarkan pada tahun 1769 di Surakarta oleh Paku Buwana III (1749-1788):

Menurut Pangageng Sasana Pustaka Karaton Kasunanan Surakarta Gusti Pangeran Haryo Puger antara batik dan upacara adat keduanya salingmelengkapi, karena masyarakat menganganggap batik sudah menjadi satu kesatuan yang yang tidak dapat dipisahkan.turun-temurun dan sudah menjadi kebiasaan yang dianut leh masyarakat, diadopsi dari adat karaton.

1.     Batik modern

Pada zaman modern ini, pakaian batik sudah banyak mengalami revolusi. Ada banyak sekali design baju batik yang telah mengalami perubahan ke design model baju batik modern  untuk dapat mengimbangi fashion. Design lebih indah dan modis mulai dibentuk. Perkembangan batik ini telah mendapat tempat yang baik di masyarakat. Sekarang, orang-orang pergi ke pesta mewah sekalipun telah menggunakan batik sebagai pakaian maupun gaunnya. Bahkan para pejabat Negara, pegawai negeri, siswa sekolahpun di wajibkan untuk memakai seragam batik pada hari-hari tertentu.

Supaya budaya batik ini dapat bertahan, maka banyak design model baju batik modern dengan corak baru muncul untuk semakin memperkaya pilihan kepada para konsumen. Dengan menggabungkan konsep tradisional dan modern, batik mampu membuat gebrakan mode di tanah air Indonesia. Dan semoga hal ini terus berlanjut. Bahkan sekarang batik dibuat juga dalam bentuk jaket, sandal, tas, dan masih banyak lagi.

3.3  Pengaruh masyarakat terhadap batik sebelum batik menjadi budaya Internasional

Batik adalah warisan budaya khas Indonesia. Sejarah keberadaannya dan pertumbuhan tidak dapat dibantah. Batik telah ada sejak zaman kerajaan Majapahit dan kemudian memperluas tepat di masa kerajaan Mataran, Solo, dan Yogyakarta. Tidak hanya di Jawa, batik juga telah tumbuh dan berkembang di Pulau Sumatera. Selain itu, pengakuan UNESCO pada 2 Oktober  2009, bahwa batik adalah asli dan tidak berwujud warisan budaya Indonesia telah mencabut klaim Malaysia. Sebagai pewaris batik dan pemilik. Lebih dari sekedar warisan budaya, batik juga telah menjelma menjadi industri dengan kontribusi tinggi terhadap perekonomian nasional. Selain itu, jumlah tenaga kerja dalam kelompok industri (TPT) adalah 1,62 juta orang memang. Nilai ekspor batik bahkan mencapai US $ 32.280.000 pada tahun 2008, dan US $ 10.860.000 dalam tiga bulan pertama tahun 2009.

Tidak ada salahnya jika kita mengucapkan terimakasih kepada Malaysia yang telah mengklaim batik sebagai warisan budayanya. Faktanya klaim itu sendiri berfungsi sebagai pelopor tumbuhnya kembali jiwa Nasionalisme bangsa kita yang sempat tersurut. Harus diakui bahwa klaim Malaysia atas batik sangat meresahkan perajin batik Indonesia. Klaim tersebut secara tidak langsung menjadi pemicu lahirnya Forum Masyarakat Batik Indonesia di Jakarta. Forum ini sadar bahwa generasi batik masa lampau hanya melihat kompetisi antarperajin di dalam negeri. Kini, sudah saatnya perajin batik bersatu, menunjukkan eksistensi bahwa batik adalah warisan budaya Indonesia. Meskipun Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (waktu itu, dalam Kabinet Indonesia Bersatu I) Aburizal Bakrie menyatakan bahwa usulan nominasi batik ke Unesco bukan reaksi terhadap Malaysia, melainkan untuk kepentingan pengembangan batik Indonesia di pasar Internasional. Namun demikian, setidaknya klaim Malaysia tersebut menjadi salah satu pemicunya.

Dahulu sebelum batik menjadi budaya internasional batik hanyalah sebuah kesenian gambar diatas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaaan raja-raja Indonesia zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam keraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena banyak dari pengikut raja yang tinggal di luar keraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar keraton dan dikerjakan di tempatnya masing-masing. Lama-lama kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga keraton, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik wanita maupun pria.

Tidak hanya itu saja sebelum batik menjadi budaya imternasional batik hanya berperan sebagai budaya nasional. Menilik dari sejarahnya, batik telah mengakar dalam sejarah bangsa Indonesia. Batik tidak hanya tumbuh dan berkembang di pulai Jawa, tetapi juga di luar pulai Jawa seperti Padang di pulau Sumatera. Corak dan motif batik yang sangat beragam, menunjukkan kekhasan masing-masing daerah. Motif-motif tersebut tidak hanya menjadi ciri khas daerah, tetapi juga menjadi simbol budaya daerah tersebut. Di Jawa Timur saja, misalnya, motif dan warna dasar batik Surabaya, berbeda dengan batik Malang atau Mojokerto. Motif-motif batik Surabaya mewakili budaya Surabaya sebagai daerah pesisir, sementara batik Malang tentu saja menggambarkan budaya masyarakat Malang yang sejuk.

Batik telah mendarah daging dalam perjalanan bangsa Indonesia. Maka wajar jika kemudian kita marah, bahkan sangat geram, terhadap klaim Malaysia atas batik kita (dan juga klaim Malaysia atas kebudayaan kita yang lain, misalnya tari pendet, angklung, reog, lagu rasasayange, dan sebagainya).

Kita harus mengakui sebelum batik menjadi budaya internasional di negara kita semangat untuk mempatenkan motif batik di daerah-daerah sangatlah minim. Jadi tidak heran sangatlah muda bagi malaysia untuk mencuri kebudayaan itu. Demi memiliki identitas, negara itu gencar mengklaim batik, reog, tari pendet, beberapa judul lagu, dan angklung sebagai milik sendiri. Kita desak Malaysia meminta maaf. Dengan bermacam dalih, mereka meminta maaf walaupun pada saat bersamaan terus mencari celah kelalaian kita. Dalam iklan pariwisata malaysia, mereka pernah menyebutkan bahwa kita bangsa indonesia bangga atas kekayaan budaya kita, namun sebelumnya kita tidak mengenali dan memanfaatkannya.

Kata kuncinya kelalaian. Kita lalai tidak mengenal budaya sendiri,alih-alih mengurus hak kekayaan intelektual dan hak cipta. Sementara Malaysia, yang bangga atas kemajuan ekonomi, bermasalah ketika tidak memiliki identitas budaya. Padahal sebuah bangsa menjadi besar jika memiliki identitas yang kuat. Untuk menghindarkan klaim negara lain terhadap produk budaya nasional, Indonesia perlu segera mematenkannya di lembaga internasional. Kalau lalai, negara lain seperti Malaysia akan mengklaimnya sebagai produk budaya mereka. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya urgensi dan proaktifnya pendataan dan perlindungan hak cipta atas karya pribadi dan hak paten atas karya manual. Kalau kita lalai tidak hanya budaya kekayaan budaya hilang, bahkan berakibat buruk hilangnya identitas budaya kita.

Dari sisi teknologi sebelum batik menjadi budaya internasional, para pengusaha industri batik umumnya belum melakukan perbaikan sistem dan teknik produksi agar lebih produktif dan mutunya bisa sama untuk setiap lembar kain batik. Itu belum termasuk pemakaian zat warna alam yang masih belum mendapat hasil stabil satu sama lain. Dilihat dari sisi ketersediaan bahan baku sutera,  jumlahnya masih kurang dari permintaan pasar. Selain itu, serat dan benang sutera umumnya masih impor. Dari sisi pemasaran, adalah tantangan dari negara pesaing yang semakin meluas antara lain dari Malaysia, Thailand, Singapura, Vietnam, Afrika Selatan dan Polandia. Segi pemasaran batik Indonesia juga belum fokus untuk mengangkat batik Indonesia sebagai high fashion dunia. Prosedur yang ditempuh untuk pengakuan batik dilakukan sesuai Konvensi Unesco tahun 2003 tentang Warisan Budaya Tak Benda. Konvensi Unesco tersebut telah diratifikasi oleh pemerintah melalui PP Nomor 78 Tahun 2007 dan, terhitung 15 Januari 2008, Indonesia resmi menjadi Negara Pihak Konvensi. Dengan demikian, Indonesia berhak menominasikan mata budayanya untuk dicantumkan dalam daftar representatif Unesco.

UU. Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta menjamin perlindungan hak kekayaan intelektual komunal ataupun personal. Daerah diberi kebebasan mendaftarkan agar mendapat perlindungan sebagai kekayaan budaya bangsa. Upaya itu sudah dilakukan Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Pemprov Bali. DIY menyangkut batik gaya Yogyakarta, sedangkan Bali terkati dengan tarian dan tetabuhan musik. Dalam UU ini, hak cipta didefinisikan sebagai, “Hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku” (pasal 1 ayat 1).

Seolah jendela dunia bisnis terbuka lebar ketika pada 2 Oktober 2009 lalu, UNESCO mendeklarasikan batik Indonesia sebagai warisan budaya dunia. Sejatinya, inilah tantangan bagi kita untuk mengangkat batik sebagai salah satu pilar ekonomi rakyat. Deklarasi itu ternyata mampu membangkitkan spirit “berbatik ria” di masyarakat Indonesia. Kabarnya, penjualan batik di sejumlah gerai batik laku keras alias laris manis. Inilah euforia batik. Dengan bahasa lebih bening, euforia batik bakal lebih mendatangkan aura positif bagi pertumbuhan dan pengembangan perekonomian nasional.

Pengaruh masyarakat terhadap batik sesudah batik menjadi budaya internasional

UNESCO mengakui bahwa Batik Indonesia mempunyai teknik dan simbol budaya yang menjadi identitas rakyat Indonesia mulai dari lahir sampai meninggal, bayi digendong dengan kain batik bercorak simbol yang membawa keberuntungan, dan yang meninggal ditutup dengan kainbatik. UNESCO memasukkan Batik Indonesia ke dalam Representative List karena telah memenuhi kriteria, antara lain kaya dengan simbol-simbol dan filosofi kehidupan rakyat Indonesia, memberi kontribusi bagi terpeliharanya warisan budaya tak benda pada saat ini dan di masa mendatang. Selanjutnya seluruh komponen masyarakat bersama pemerintah melakukan langkah-langkah secara berkesinambungan untuk perlindungan termasuk peningkatan kesadaran dan pengembangan kapasitas termasuk aktivitas pendidikan dan pelatihan

Dewasa ini penggunaan batik makin beragam. Pasar ekspor batik mencapai 125 juta dollar AS per tahun. Sekitar dua juta orang bergantung pada usaha batik, mulai pedagang kecil dan menengah serta pemasok kebutuhan batik beserta keluarganya. Seluruh pihak yang terkait dengan batik telah memahami dan sepakat untuk memperjuangkan agar batik Indonesia dapat diakui oleh Unesco. Mereka berharap, dengan telah diakuinya batik oleh Unesco, pasar (dan industri) batik akan menjadi lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Dalam konteks inilah – bahwa  batik bukan sekedar budaya khas Indonesia, tetapi kekayaan intelektual bangsa Indonesia dan nafas serta  penggerak kehidupan sebagian masyarakat Indonesia – artikel ini ditulis untuk memberikan gambaran tentang: (1) sejarah batik Indonesia, (2) batik sebagai budaya nasional, (3) mempatenkan batik, dan (4) industri batik dan sumbangsihnya terhadap perekonomian nasional.

Guna tetap menjaga dan mengembangkan batik sebagai warisan budaya takbenda Indonesia, masyarakat yang mewakili enam unsur kepentingan mendeklarasikan terbentuknya Masyarakat Batik Indonesia (MBI) yang sebelumnya bernama Forum Masyarakat Batik Indonesia. Menurut Ketua Yayasan KADIN Indonesia Iman Sutjipto Umar di Universitas Indonesia, Depok, hal tersebut menjadi penting mengingat batik sebagai warisan budaya masyarakat Indonesia perlu tetap dipelihara kelestariannya, terutama kepada generasi penerus berikutnya. Itulah sebabnya, tutur Sutjipto, saat menjadi pemrakarsa Deklarasi pembentukan MBI di sela-sela seminar Dinamika Pengembangan Batik Indonesia dan Pameran Batik Ikon Budaya Bangsa, di Depok, Jabar, enam unsur kepentingan mulai dari lembaga pemerintah, lembaga swadaya masyarakat dan yayasan, KADIN dan dunia usahanya, juga paguyuban, kelompok dan perseorangan yang terlibat dan komit dalam budaya babk Indonesia, termasuk juga pemerhati, pengamat, dan juga media, diharapkan turut bersama memajukan dan mengembangkan budaya batik warisan budaya takbenda Indonesia.

Ditegaskannya, peranan lembaga ini tidak akan mengambil alih peran pemerintah, masyarakat, dan juga paguyuban, tetapi justru diharapkan mewakili keinginan memajukan dan mengembangkan budaya batik, termasuk wadah untuk membicarakan dan merumuskan kebijakan pemeliharaan dan penjagaan budaya batik, baik dalam skala nasional dan dalam rangka kerjasama internasional. Selain itu, pengembangan batik Indonesia juga didorong, baik dalam rangka pengembangan desain dan motif batik, termasuk dalam rangka kerjasama dengan lembaga perguruan tinggi. Nantinya MBI akan dilengkapi dengan sekretariat dan perangkat organisasi lainnya yang dibutuhkan dalam upaya pendanaan dari sumber yang sah dan tidak mengikat.

Salah satu usulan atau rekomendasi yang diharapkan akan dihasilkan dari seminar ini adalah, dibentuknya pusat pengkajian batik yang dikaitkan dengan wilayah Yogyakarta sebagai salah satu pusat kerajinan. Dengan desain yang selalu berkembang secara dinamis, nantinya akan didirikan Pusat Pengembangan Desain dan Motif di Yogyakarta. Seminar ini mengharapkan lahimya pemikiran dari Fakultas Hmu Pengetahuan Budaya UI, untuk juga membangun pusat kajian dan pengembangan batik Indonesia.

Perkembangan batik yang marak dalam beberapa tahun terakhir ini juga telah ditunjukkan dengan akan dibangunnya Galeri Batik dalam kurun waktu antara satu s/d dua tahun ke depan, yang akan diselaraskan dengan perkembangan Museum Tekstil di Tanah Abang, Jakarta. Sementara untuk keberadaan Museum Batik di Pekalongan saat ini, rencananya akan dipindah ke gedung eks Resi den Pekalongan Pekalongan, guna memadukan secara sinegis seluruh daya dan kemampuan bangsa memajukan batik Indonesia. Pakaian dengan corak sehari-hari dipakai secara rutin dalam kegiatan bisnis dan akademis, sementara itu berbagai corak lainnya dipakai dalam upacara pernikahan, kehamilan, juga dalam wayang, kebutuhan nonsandang dan berbagai penampilan kesenian. Kain batik bahkan memainkan peran utama dalam ritual tertentu. Berbagai corak Batik Indonesia menandakan adanya berbagai pengaruh dari luar mulai dari kaligrafi Arab, burung phoenix dari China, bunga cherry dari Jepang sampai burung merak dari India atau Persia. Tradisi membatik diturunkan dari generasi ke generasi, batik terkait dengan identitas budaya rakyat indonesia dan melalui berbagai arti simbolik dari warna dan corak mengekspresikan kreatifitas dan spiritual rakyat Indonesia.

UNESCO memasukkan Batik Indonesia ke dalam Representative List karena telah memenuhi kriteria, antara lain kaya dengan simbol-simbol dan filosofi kehidupan rakyat Indonesia; memberi kontribusi bagi terpeliharanya warisan budaya takbenda pada saat ini dan di masa mendatang.

Selanjutnya seluruh komponen masyarakat bersama pemerintah melakukan langkah-langkah secara berkesinambungan untuk perlindungan termasuk peningkatan kesadaran dan pengembangan kapasitas termasuk aktivitas pendidikan dan pelatihan. Dalam menyiapkan nominasi, para pihak terkait telah melakukan berbagai aktivitas, termasuk melakukan penelitian di lapangan, pengkajian, seminar, dan sebagainya untuk mendiskusikan isi dokumen dan memperkaya informasi secara bebas dan terbuka. Pemerintah telah memasukkan Batik Indonesia ke dalam Daftar Inventaris Mata Budaya Indonesia.

Pembatikan di Luar Jawa

Dari Jakarta, yang menjadi tujuan pedagang-pedagang di luar Jawa, batik kemudian berkembang di seluruh penjuru kota-kota besar di Indonesia yang ada di luar Jawa. Sumatera Barat (khususnya daerah Padang) adalah daerah yang jauh dari pusat pembatikan di kota-kota Jawa, tetapi pembatikan bisa berkembang di daerah ini. Sumatera Barat termasuk daerah konsumen batik sejak zaman sebelum PD I, terutama batik-batik produksi Pekalongan, Solo, dan  Yogya. Di Sumatera Barat yang berkembang terlebih dahulu adalah industri tenun tangan yang terkenal tenun Silungkang dan tenun Plekat. Pembatikan mulai berkembang di Padang setelah pendudukan Jepang. Sejak putusnya hubungan antara Sumatera dengan Jawa waktu pendudukan Jepang, persediaan batik yang ada pada pedagang batik sudah habis. Ditambah lagi setelah kemerdekaan Indonesia, hubungan antara kedua pulau bertambah sulit. Semua ini akibat blokade-blokade Belanda. Maka pedagang-pedagang batik yang biasa berhubungan dengan pulau Jawa mencari jalan untuk membuat batik sendiri.

Dengan hasil karya sendiri dan penelitian yang seksama, dari batik-batik yang dibuat di Jawa, ditirulah pembuatan pola-polanya dan diterapkan pada kayu sebagai alat cap. Obat-obat batik yang dipakai juga hasil buatan sendiri yaitu dari tumbuh-tumbuhan seperti mengkudu, kunyit, gambir, dammar, dan sebagainya. Bahan kain putihnya diambilkan dari kain putih bekas dan hasil tenun tangan. Perusahaan batik pertama muncul yaitu daerah Sampan Kabupaten Padang Pariaman tahun 1946 antara lain; Bagindo Idris, Sidi Ali, Sidi Zakaria, Sutan Salim, Sutan Sjamsudin dan di Payakumbuh tahun 1948 Sdr. Waslim (asal Pekalongan) dan Sutan Razab.

Setelah Padang serta kota-kota lainnya menjadi daerah pendudukan tahun 1949, banyak pedagang batik membuka perusahaan/bengkel batik dengan bahannya diperoleh dari Singapura melalui pelabuhan Padang dan Pakanbaru. Tetapi, setelahpulau Jawa mulai terbuka kembali, mereka kembali berdagang dan perusahaannya kemudian mati.

Batik Sebagai Budaya Nasional

Menilik dari sejarahnya, batik telah mengakar dalam sejarah bangsa Indonesia. Batik tidak hanya tumbuh dan berkembang di pulai Jawa, tetapi juga di luar pulai Jawa seperti Padang di pulau Sumatera.

Corak dan motif batik yang sangat beragam, menunjukkan kekhasan masing-masing daerah. Motif-motif tersebut tidak hanya menjadi ciri khas daerah, tetapi juga menjadi simbol budaya daerah tersebut. Di Jawa Timur saja, misalnya, motif dan warna dasar batik Surabaya, berbeda dengan batik Malang atau Mojokerto. Motif-motif batik Surabaya mewakili budaya Surabaya sebagai daerah pesisir, sementara batik Malang tentu saja menggambarkan budaya masyarakat Malang yang sejuk.

Mempatenkan Batik

Menurut undang-undang nomor 14 tahun 2001 tentang Paten, Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada inventor atas hasil penemuannya di bidang teknologi. Paten diberikan untuk selama waktu tertentu karena melaksanakan sendiri penemuannya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya. Kita sambut gembira masuknya batik Indonesia dalam 76 warisan budaya nonbenda dunia. Hal ini memiliki makna bahwa kita telah mempatenkan batik sebagai warisan budaya Indonesia. Meskipun dari 76 seni dan budaya warisan dunia yang diakui Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO), Indonesia hanya menyumbangkan satu, sementara China 21 dan Jepang 13 warisan. Jumlah ini jangan menyurutkan rasa gembira dan rasa syukur kita.

Semangat untuk mempatenkan motif batik di daerah-daerah harus terus didorong. Teringatlah kita kepada Malaysia. Demi memiliki identitas, negara itu gencar mengklaim batik, reog, tari pendet, beberapa judul lagu, dan angklung sebagai milik sendiri. Kita desak Malaysia meminta maaf. Dengan bermacam dalih, mereka meminta maaf walaupun pada saat bersamaan terus mencari celah kelalaian kita. Jajak pendapat Kompas (31/8/2009) menunjukkan reaksi keras atas dipakainya simbol-simbol kebudayaan lokal Indonesia dalam iklan pariwisata Malaysia. Kita bangga atas kekayaan budaya kita, sebaliknya kita tidak mengenali dan memanfaatkannya.

Kata kuncinya kelalaian. Kita lalai tidak mengenal budaya sendiri,alih-alih mengurus hak kekayaan intelektual dan hak cipta. Sementara Malaysia, yang bangga atas kemajuan ekonomi, bermasalah ketika tidak memiliki identitas budaya. Padahal sebuah bangsa menjadi besar jika memiliki identitas yang kuat. Untuk menghindarkan klaim negara lain terhadap produk budaya nasional, Indonesia perlu segera mematenkannya di lembaga internasional. Kalau lalai, negara lain seperti Malaysia akan mengklaimnya sebagai produk budaya mereka.

Contoh-contoh di atas menunjukkan urgensi dan perlu proaktifnya pendataan dan perlindungan hak cipta atas karya pribadi dan hak paten atas karya komunal. Kalau lalai, tidak saja kekayaan budaya hilang, bahkan berakibat buruk hilangnya identitas budaya kita. Prosedur yang ditempuh untuk pengakuan itu dilakukan sesuai Konvensi Unesco tahun 2003 tentang Warisan Budaya Tak Benda. Konvensi Unesco tersebut telah diratifikasi oleh pemerintah melalui PP Nomor 78 Tahun 2007 dan, terhitung 15 Januari 2008, Indonesia resmi menjadi Negara Pihak Konvensi. Dengan demikian, Indonesia berhak menominasikan mata budayanya untuk dicantumkan dalam daftar representatif Unesco. UU. Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta menjamin perlindungan hak kekayaan intelektual komunal ataupun personal. Daerah diberi kebebasan mendaftarkan agar mendapat perlindungan sebagai kekayaan budaya bangsa. Upaya itu sudah dilakukan Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Pemprov Bali. DIY menyangkut batik gaya Yogyakarta, sedangkan Bali terkati dengan tarian dan tetabuhan musik. Dalam UU ini, hak cipta didefinisikan sebagai, “Hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku” (pasal 1 ayat 1).

Industri Batik dan Sumbangsihnya terhadap Perekonomian Nasional

Seolah jendela dunia bisnis terbuka lebar ketika pada 2 Oktober 2009 lalu, UNESCO mendeklarasikan batik Indonesia sebagai warisan budaya dunia. Sejatinya, inilah tantangan bagi kita untuk mengangkat batik sebagai salah satu pilar ekonomi rakyat. Deklarasi itu ternyata mampu membangkitkan spirit “berbatik ria” di masyarakat Indonesia. Kabarnya, penjualan batik di sejumlah gerai batik laku keras alias laris manis. Inilah euforia batik. Dengan bahasa lebih bening, euforia batik bakal lebih mendatangkan aura positif bagi pertumbuhan dan pengembangan perekonomian nasional.

Bagaimana kinerja ekspor batik nasional? Mari kita lihat realisasi ekspor batik Indonesia selama lima tahun terakhir.

Tabel 1: Nilai Ekspor Batik Nasional 2004-2009

Tahun
   

Nilai Ekspor Batik Nasional

2004
   

US$ 34,41 juta

2005
   

US$ 12,46 juta

 2006
   

US$ 14,27 juta

2007
   

US$ 20,89 juta

2008
   

USS 32,28 juta

Triwulan I 2009
   

US$ 10,86 juta

Sumber: Suara Pembaruan, 3 Oktober 2009.

Realisasi ekspor hingga semester 1 tahun 2009 baru mencapai US$ 10,86 juta. Artinya, baru mencapai 33,64% dibandingkan dengan kinerja ekspor pada 2008. Banyak yang berharap, euforia batik bakal mampu mengerek kinerja ekspor batik nasional. Sehingga pada gilirannya akan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dan menyerap tenaga kerja. Pemerintah menargetkan ekspor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) – termasuk di dalamnya batik – mencapai sekitar US$11,8 miliar pada 2009. Itu sedikit meningkat dibanding proyeksi ekspor tahun 2008 sebesar US$11 miliar. Industri TPT masih menjadi salah satu industri prioritas yang akan dikembangkan karena mampu memberi kontribusi yang signifikan bagi perekonomian nasional.

Industri TPT 2006 lalu menyerap 1,2 juta tenaga kerja, tidak termasuk industri kecil dan rumah tangga. Selain itu menyumbang devisa sebesar US$9,45 miliar pada 2006 dan US$10,03 miliar pada 2007. Secara konsisten industri TPT memberi surplus (net ekspor) di atas US$5 miliar dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini. Oleh karena itu, pemerintah menargetkan 2009 ekspor TPT mencapai US$11,8 miliar dengan penyerapan 1,62 juta tenaga kerja. Tantangan yang dihadapi industri batik itu antara lain mengenai Sumber Daya Manusia (SDM). Misalnya, generasi pembatik umumnya sudah berusia relatif lanjut, sehingga perlu upaya khusus untuk menggugah minat kalangan muda untuk terjun ke usaha batik. Masalah lain yang harus diatasi adalah masalah pendanaan, ketenagakerjaan, dan penanganan penyelundupan. Saat ini industri TPT diakui juga menghadapi masalah daya saing terkait usia mesin industri tersebut yang sebagian besar (sekitar 75%) berusia sekitar 20 tahun sehingga membutuhkan peremajaan mesin baru untuk bersaing di pasar internasional dan domestik yang semakin ketat.

Dari sisi teknologi, para pengusaha industri batik umumnya belum melakukan perbaikan sistem dan teknik produksi agar lebih produktif dan mutunya bisa sama untuk setiap lembar kain batik. Itu belum termasuk pemakaian zat warna alam yang masih belum mendapat hasil stabil satu sama lain. Dilihat dari sisi ketersediaan bahan baku sutera,  jumlahnya masih kurang dari permintaan pasar. Selain itu, serat dan benang sutera umumnya masih impor. Dari sisi pemasaran, adalah tantangan dari negara pesaing yang semakin meluas antara lain dari Malaysia, Thailand, Singapura, Vietnam, Afrika Selatan dan Polandia. Segi pemasaran batik Indonesia juga belum fokus untuk mengangkat batik Indonesia sebagai high fashiondunia.

Terkait masalah Hak Kekayaan Intelektual (HKI), ditengarai bahwa motif-motif batik tradisional, belakangan ini banyak ditiru oleh para perajin dari negara-negara lain. Kondisi tersebut terjadi karena usaha perlindungan HKI di negara ini belum maksimal. Dalam kaitan tersebut, sesungguhnya kegiatan dokumentasi motif batik sudah banyak dilakukan oleh masyarakat, bahkan Departemen Perindustrian telah mendokumentasi sebanyak 2.788 motif batik dan tenun tradisional dalam bentuk CD (Compact Disc).

Bagaimana power atau nilai plus dari corak batik itu, sehingga budaya batik menjadi budaya  internasional.

Sebagai bentuk apresiasi dari diakuinya batik sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO, kita berharap semoga dengan apa yang telah dilakukan oleh segenap masyarakat Indonesia, walaupun baru satu hari kita semua bersama-sama menggunakan batik, tetapi itu bisa menjadi inspirasi untuk hal-hal yang lain selain batik. Selain batik juga banyak sekali kekayaan budaya Indonesia yang memang juga harus dengan teliti dipelajari dengan seksama. Apabila telah terindikasi secara faktual bahwa itu memang kepunyaan Indonesia, maka tidak ada halangan buat kita untuk membuat literasi bahwa itu adalah hak kekayaan budaya Indonesia.

Batik, selain tehnik pembuatannya, kita juga bisa membuat hak ciptanya secara bagian-perbagian. Artinya ada juga karya-karya yang merupakan bagian dari corak batik yang sudah dikenal sebagai budaya milik Indonesia seperti misalnya batik Parang Nusa dan lain sebagainya. Sebab itu akan menjadi kekuatan argument tersendiri apabila misalnya batik itu diklaim oleh Negara lain. Sebab ada pengakuan dari negara tetangga yang mengatakan sedang mempelajari dan akan menanyakan kepada UNESCO kenapa badan dunia tersebut lebih mengakui proses pembuatan batik dengan menggunakan canting. Jadi ini menunjukkan bahwa masih ada hal-hal lain yang dapat kita perkuat mulai dari sekarang, apakah itu dari motifnya, jenis-jenis bahannya dan lain sebagainya, itu harus kita buat lebih detil lagi. Dengan kecintaan anak muda Indonesia yang luar biasa terhadap batik, saya rasa itu menjadi semacam inspirasi, bahwa ternyata memang kalau kita beri spirit atau semangat, masyarakat kita bisa sangat mencintai batik atau apapun, asalkan itu produk budaya asli Indonesia.

Untuk pembenahannya, pemerintah seharusnya sudah mulai bergerak, baik itu ke industri batik yang bersifat perorangan (home industry) ataupun industri kolektif, dan juga industri batik yang konvensional ataupun inkonvensional. Ini sebenarnya bisa menjadi kekayaan tersendiri buat kita, oleh sebab itu ketika industri yang bersifat perorangan itu mampu membuat karya-karya yang subjektif, artinya sebuah karya yang khas dengan originalitas yang luar biasa, maka memang sebaiknya didaftarkan hak ciptanya. Dan juga akan menjadi sesuatu yang luar biasa kalau misalnya ada terobosan inovasi yang menarik. Saya punya keyakinan kalau misalnya kita mengenakan jas, terkadang tidak semua orang Indonesia kalau mengenakan jas itu kelihatan luwes, walaupun memang terlihat berkelas, tetapi tidak luwes. Tetapi kalau mengenakan batik, orang akan terlihat berkelas, ada membuminya disitu, kesederhanaan dan kepribadian yang menonjol, jadi melengkapi semuanya, di satu sisi dia elegan dan di sisi lainnya dia membumi dengan kesederhanaannya.

Itulah kelebihan batik dibandingkan dengan busana lainnya dan jas sekalipun, dan itu harus kita pertahankan. Apalagi jika dibandingkan dengan batik dari negara lain, ternyata batik Indonesia itu menang motif. Memang ada orang yang mengatakan bahwa yang mendisain batik Indonesia yang pertama itu adalah orang-orang China, tetapi kalau kita melihat sejarah budaya dengan cerita dan tahun-tahun yang terjadi pada abad-abad sebelum ini, awal-awalnya itu memang kelihatan sekali corak desain Chinanya, dan itu bisa kita temui seperti di Semarang dan di daerah-daerah utara. Di daerah perkotaan terkadang masih kita jumpai ada orang yang membuat batik, tetapi batiknya berbeda dengan batik orang-orang yang ada di Yogya, Solo ataupun Pekalongan. Jadi saya yakin bahwa motif-motif itu akan menjadi kekuatan kita dan dengan begitu kita bisa katakan bahwa batik ini adalah yang teralkulturisasi dengan China dan ini adalah batik kita yang original. Batik itu dicintai oleh segenap lapisan masyarakat, dan saya yakin batik akan memiliki tempat tersendiri dihati masyarakat Indonesia. Rasa kecintaan itu akan tumbuh dengan sendirinya, mungkin awal-awalnya memang harus didorong, tetapi saya optimis bahwa batik akan dicintai dengan sepenuh hati. Jadi tanpa kegiatan apapun, batik akan tetap menjadi sesuatu yang dicintai oleh segenap bangsa Indonesia

Cinta dan penggunaan terhadap produk batik dalam negeri memiliki banyak sisi positif sehingga patut dilakukan. Disarankan pula agar tidak membeli dan menggunakan produk dalam negeri begitu saja, akan lebih baik bila disertai pula dengan rasa cinta tanah air sehingga dapat menjadi sikap nasionalisme yang baik. Dengan demikian semoga kedepannya kita lebih mengenal dan mencintai budaya nasional warisan leluhur kita khususnya batik dalam semua kekreatifan kita dalam semua aktifitas yang kita lakukan agar dapat menjaganya dan berharap supaya masyarakat bisa memahaminya dan terus mempertahankan kesenian ini. Agar kita selalu memilki kesenian yang telah dimilki Indonesia sejak dulu.

http://sosiologiunsyiah2010.wordpress.com/2011/04/20/makalah-pengaruh-batik-yang-sudah-menjadi-kebudayaan-dunia/ 

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.