Kamis, 09 Oktober 2014

Pengaruh Kebudayaan dan Keadaan Alam Terhadap Sejarah Terjadinya Kota

PENGARUH KEBUDAYAAN DAN KEADAAN ALAM TERHADAP SEJARAH TERJADINYA KOTA

    Sejarah perencanaan kota berlangsung sejak ribuan tahun yang lalu. Para ahli arkeologi kota-kota kuno di dunia mengungkap bahwa terdapat beberapa bukti yang menunjukkan terdapat perencanaan yang disengaja yang dilihat dari penataan perumahan secara teratur, pola-pola persegi, dan peletakan bangunan religius dan sosial di sepanjang jalan utama kota. Kota-kota kuno di Sumeria tercatat sebagai planned cities( merencanakan kota ) yang pertama pada tahun 4.000 SM. Pada umumnya kota ini berpenduduk 3.000 sampai dengan 5.000 jiwa dengan pusat kota berupa bangunan setinggi ± 30 meter yang dikenal dengan nama ziggurats. Salah satu kota dari kota-kota ini adalah Babylonia yang terkenal denganHanging Gardens Palace-nya. Namun sejarah perencanaan kota lebih mengenal Hippodamus pada tahun ± 480 SM sebagai the first city planner( kota perencana yang pertama ).
    Jumlah penduduk yang relatif belum banyak membuat kompleksitas dalam sejarah awal perencanaan kota tidak begitu besar. Dalam perkembangannya jumlah penduduk makin meningkat sejalan dengan pertumbuhan kota. Beberapa penemuan di bidang sains ikut mengubah pola hidup dan bentuk kota di masa lalu. Penemuan mesin uap yang memulai era industrialisasi di daratan Eropa, membawa pengaruh yang sangat signifikan terhadap bentuk kota. Hal-hal ini berimplikasi terhadap peningkatan kompleksitas perencanaan kota. Perubahan moda transportasi menjadi mesin-mesin membawa dampak terhadap pengingkatan permasalahan, bahaya keselamatan, dan polusi air serta polusi udara. Untuk merespons peningkatan kompleksitas dalam kegiatan perkotaan, maka berkembanglah ilmu perencanaan.
Dalam perkembangannya mulai dari era revolusi industri, abad ke 20, hingga saat ini perencanaan kota berkembang sejalan dengan kompleksitas kota yang terus meningkat. Namun sejalan dengan berkembangnya disiplin ilmu yang lain, maka beberapa masalah yang awalnya merupakan domain ( awal ) ilmu perencanaan mulai “diambil alih”. Perkembangan teknologi juga memiliki andil dalam proses conquer ( melawan ) terhadap ilmu perencanaan. Hal ini menimbulkan pertanyaan, jika planning merupakan respon terhadap masalah, saat masalah dapat diselesaikan tanpa planning, maka di mana letak perencanaan di masa depan?
Trend yang berkembang pada perencanaan kota dapat terlihat dari tahapan-tahapan historisnya. Ada 4 fase berdasarkan kecenderungan dan kemiripan dalam kegiatan perencanaannya, yaitu:
       The Ancient World ( Dunia Masa Lampau )
    Perencanaan kota pada zaman sebelum Masehi berkaitan dengan sejarah kemunculan kota-kota kuno. Kota diartikan sebagai konsentrasi penduduk pada suatu wilayah yang lebih tinggi dari pada wilayah disekitarnya. Kota dalam artian ini sudah ada jauh sebelum ada perencanaan. Namun kota yang dikategorikan sebagaiplanned cities muncul pada tahun 4.000 SM di Sumeria. Pada umumnya kota ini berpenduduk 3.000 sampai dengan 5.000 penduduk dengan pusat kota berupa sebuah bangunan dengan tinggi 30 meter yang disebut ziggurats. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat beribadah dan observatories dengan dikelilingi oleh dinding kokoh bersama istana dan bangunan-bangunan lainnya. Salah satu kota yang terkenal adalah Babylonia yang mencapai masa kejayaan saat Nebuchadnezzar membangun ulang kota ini dengan simbol yang terkenal hingga kini, Hanging Gardens Palace.
    Seiring dengan perkembangan sense of order and structure, perkembangan kota pun meningkat dengan kemunculan Hippodamus, arsitek yang didaulat sebagai Bapak Perencanaan Kota. Ia mengembangkan filosofi dasar dalam perencanaan kota secara fisik dimana suatu kota harus tertata secara rectangular street system (gridiron pattern) yang membuat kota terbentuk secara geometris. Selain itu ia juga mengembangkan konsep pusat perdagangan kota di tengah rectangular area tersebut. Konsep ini pun dilanjutkan oleh Bangsa Roma dengan membangun bangunan-bangunan religious dan sosial di sepanjang jalan utama kota.
       Medieval to Renaissance ( Pertengahan ke kebangkitan kembali )
    Kontribusi utama Bangsa Roma terhadap perkembangan perencanaan kota adalah penempatan pusat pemerintahan di tengah kota sebagai simbol dari kekuatan pemerintah. Namun pada tahap kedua ini, perkembangan perencanaan kota terfokus pada bentuk bangunan kota dan design kota yang berbasiskan axis style( gaya poros ) dengan pusat kegiatan terdapat pada bangunan religius seperti gereja dan katedral. Ciri utama kota pada masa ini adalah jumlah penduduk tidak melebihi batas 50.000 penduduk dengan alasan sistem infrastruktur kota yang dibatasi oleh dinding tebal sebagai benteng dan masalah ketersediaan air. Selain itu pola jalan yang awalnya berbentuk rectangular berganti menjadiradial-concentric dengan dua alasan: pertama, karena jalur-jalur jalan yang menghubungkan kota dengan sekeliling daerah tepian kota secara alami menyebar dari permukiman awalnya ke empat arah atau lebih; dengan semakin tumbuhnya kota, jalur-jalur jalan tersebut menjadi jalur-jalur berpola radial yang permanen; kedua, pola radial concentric tersebut sesuai dengan karakteristik sistem pertahanan luar yang melingkar dari semua kota-kota pada zaman pertengahan.
       The Industrial City ( Kota Industri )
    Penemuan mesin uap mengawali era industrialisasi di Eropa yang berarti bahwa tenaga kerja manusia dapat didukung atau bahkan digantikan oleh mesin-mesin.Perubahan yang signifikan terjadi pada pola hidup perkotaan saat itu hingga membawa dampak yang signifikan pula. Kota yang pada awalnya hanya terbatas pada tembok-tembok tinggi mulai meluas ke luar dengan adanya
infrastruktur transportasi yang lebih efektif dan efisien. Hal ini mengubah bentuk kota menjadi lebih massive dan kompleks sehingga menimbulkan dampak negatif. Impact yang ditimbulkan berupa peningkatan congestion, new safety hazards, dan polusi air serta polusi udara. Selain itu bentuk kota mulai menjadi tidak teratur dengan akses transportasi yang maju pada masa itu dan munculnya wilayah suburban. Menanggapi hal ini maka berkembanglah ilmu perencanaan kota dengan muncul beberapa regulasi mengenai standar perumahan di Inggris, improved street and urban railway system di Eropa, dan zoning control di Amerika Serikat. Pada akhir abad ke 19 muncul gagasan Garden city of Tomorrow yang dipopulerkan oleh Ebenezer Howard yang menjadi awal pergerakan perencanaan kota pada abad ke 20.
       20th Century and Today ( Abad ke-20 dan Sekarang )
    Perencanaan kota modern berangkat dari isu penurunan standar hidup di perkotaan akibat penurunan kualitas lingkungan perkotaan sebagai implikasi dari penggunaan kendaraan bermotor.Namun dalam perkembangannya muncul masalah baru pada sektor ekonomi dan sosial. Pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi tidak sejalan dengan pertumbuhan suplai makanan sehingga menimbulkan masalah ekonomi. Pertumbuhan dan perkembangan kota yang menarik resources dari wilayah sekitarnya menimbulkan kesenjangan kualitas kehidupan antara kota dan desa. Hal ini merupakan contoh masalah sosial yang muncul pada masa itu. Menanggapi kondisi ini maka ilmu perencanaan kota berkembang dengan muncul konsep comprehensive planning, development controls, dan sustainable development.
    Pada tahap awal kemunculan perencanaan kota, urgensi dari perencanaan ini adalah menciptakan suatu keteraturan bangunan secara fisik tanpa kompleksitas yang tinggi karena jumlah penduduk yang tidak terlalu banyak dan kompleksitas masalah yang tidak terlalu tinggi. Pada akhir tahap awal ini bangunan fisik kota yang teratur merupakan simbol bagi kekuatan pemerintahan yang sedang berlangsung. Persaingan antar kota kerajaan untuk membuktikan simbol tersebut menjadi urgensi perencanaan kota pada tahap ke dua. Pembangunan kota lebih diarahkan pada pembangunan fisik kota yang mendukung kegiatan perang seperti konstruksi dinding pertahanan kota dan jalan dengan pola radial-concentric.
Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk maka kompleksitas perkotaan semakin meningkat. Selain itu penemuan teknologi baru membawa dampak yang sangat signifikan terhadap perencanaan kota. Sehingga timbul masalah baru yang harus mendapat penyelesaian. Maka urgensi perencanaan kota pada tahap ke tiga ini adalah merespons permasalahan kota yang timbul akibat perkembangan teknologi. Kondisi ini tidak berubah pada tahap ke empat.Hanya saja dengan kompleksitas masalah yang lebih tinggi dan populasi yang lebih besar. Namun catatan penting yang diperoleh pada tahapan ini adalah beberapa masalah yang sebelumnya merupakan domain ilmu perencanaan mulai diambil alih oleh disiplin ilmu lain. Hal ini berkaitan erat dengan perkembangan teknologi yang semakin futuristic dan massive. Contohnya adalah inovasi di bidang arsitetur. Beberapa konsep dan design utopis kota masa depan menunjukkan bahwa suatu kota dimasa depan dimungkinkan untuk berada pada suatu bangunan saja, dimana penduduknya bisa bertahan hidup di dalam bangunan tersebut mulai dari lahir sampai meninggal. Ketika rancangan ini mulai diterapkan di banyak kota yang berkepadatan tinggi maka masalah perencanaan kota dapat terselesaikan. Hal ini berarti disiplin ilmu arsitektur mulai meng-conquer ilmu perencanaan kota.
    Ketika muncul masalah maka planning bereaksi dengan memberikan usulan rencana pembangunan baik secara fisik.Hal ini berarti bahwa ketika tidak ada masalah maka tidak dibutuhkan perencanaan. Dalam perkembangannya perencanaan kota mulai berkembang tidak hanya terbatas pada domain perencanaan fisik, tetapi meliputi perencanaan secara fisik, sosial, dan ekonomi yang lebih dikenal dengan konsepcomprehensive planning. Namun pada perkembangan lebih lanjut, masalah yang pada awalnya dapat diselesaikan melalui perencanaan, mampu diselesaikan oleh kemajuan teknologi.Hal ini berarti bahwa perencanaan tidak dibutuhkan lagi. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa ilmu perencanaan akan tetap ada selama ada masalah perkotaan dan kecenderungan arah gerak perencanaan kota mulai berpindah dari perencanaan secara fisik ke perencanaan non-fisik.

    Gideon Sjoberg (The Pre Industrial City,1960) mengemukakan adanya adanya tiga tingkatan organisasi manusia menuju kepada terbentuknya pusat-pusat urban, yaitu:
1.    Pre-urban feudal society, yakni masyarakat feodal sebelum adanya kota-kota.
2.    Pre-industrial feudal society, yakni masyarakat feodal sebelum adanya industri.
3.    Modern industrial feudal, yakni masyarakat feodal dengan industri maju.


    Dalam buku Lewis Mumford yang berjudul The City in History (1961), sedikitnya ada enam metafora kota atau perkembangan kota, Jenis kota-kota itu adalah :
•    Eopolis: Merupakan suatu pusat dari daerah-daerah pertanian dan mempunyai adat istiadat yang bercorak kedesaan dan sederhana.
•    Polis: merupakan tempat berpusatnya kehidupan keagamaan dan pemerintahan.
•    Metropolis: Dicirikan oleh ole wilayahnya yang kurang luas dan penduduknya yang banyak terdiri atas orang-orang dari berbagai bangsa. Percampuran perkawinan antar bangsa dan ras. Perkembangan menjadi metropolis menunjukkan kemegahan, tetapi dari segi sosial memperlihatkan adanya kekontrasan antara golongan kaya dan golongan miskin.
•    Megalopolis: Pada tahap ini gejala sosio-patologis sangat menonjol, di satu pihak terdapat kekayaan dan kekuasaan yang didukung oleh birokrasi yang ketat, tapi di pihak lain terdapat kemiskinan mendorong terjadinya pemberontakan proletar.
•    Tiranopolis: Ditandai oleh adanya degenerasi, merosotnya moral penduduk, timbulnya kekuatan politik baru dari kaum proletar.
•    Nekropolis: Kota yang sedang mengalami kehancuran. Peradabannya menjadi runtuh dan kota menjadi puing-puing reruntuhan.
    Melalui langkah yang sama, secara ekologis kota juga dapat kita lihat sebagai organisme hidup yang melakukan aktifitas metabolisme. Kota juga beraktifitas/bekerja (siang hari), beristirahat/tidur (malam hari), bernafas (perlu udara segar, penghijauan), makan (perlu pasokan energi seperti listrik, gas, BBM dll), dan (maaf) buang air/kotoran (sampah). Yang disebut terakhir ini justru telah menjadi masalah super pelik bagi hampir semua kota besar kita saat ini. Padahal ini mengurusi kotorannya sendiri. Dari sinilah kemestian memahami pentingnya proses daur ulang, penghijauan, penghematan energi, pengurangan/pencegahan polusi atau kerusakan lingkungan dan lain sebagainya lebih dari sekedar memperindah dan mempercantik kota yang hanya dalam tataran kulit/artifisial.
Kelahiran dan Kematian Kota
    Banyak pandangan menyatakan bahwa upaya memahami kota ini memang tidak bisa dilakukan kecuali melalui telaah sejarah (historis). Jika kita sepakat memandang kota sebagai organisme yang hidup, maka dari sudut pandang sejarah ini, tentu kita juga akan melihat adanya berbagai peristiwa atau masa yang dialami seperti masa lahir, masa remaja, masa dewasa (produktif), masa tua (konsumtif), dan mati (hancur, tidak berkembang atau ditinggalkan penghuninya).
    Ratusan bahkan mungkin ribuan kota sepanjang peradaban manusia telah mengalami tutup usia/mati dan meninggalkan jejak-jejak sisa peradaban itu. Kematian kota itu mungkin disebabkan peperangan, perebutan kekuasaan, kerusakan sosial, bencana alam, atau ditinggalkan penduduknya karena sudah tidak lagi bisa memenuhi harapan/tuntutan hidup. Di negeri kita, beberapa kota yang kini tinggal sisa-sisanya dapat kita lihat di antaranya seperti kota Trowulan yang diyakini sebagai pusat Ibukota Majapahit hingga akhir abad ke-15, bekas kota kejayaan Kasultanan Banten hingga akhir abad ke-18, dan lain-lain.
    Kematian kota juga berarti kematian atau berakhirnya sebuah peradaban. Kota yang bergerak menuju kematiannya seringkali sudah menunjukkan tanda-tanda. Mumford ketika membahas Necropolis, mengambil contoh kematian kota Roma sebagai akibat makin buruknya peran kota (urban role) yang ditunjukkan secara berturutan dalam sejarahnya dariParasitopolis, Patholopolis, Psycho-patholopolis hingga Tyrannopolis. Maka setelah itu, Necropolis dipastikan tinggal selangkah dan tidak akan lama lagi. Roma, menurutnya menyisakan pelajaran sangat berharga dari apa-apa yang mesti dihindari yang ia sebut sebagai “classic danger signals” yang dapat dilihat dari tanda-tanda yang dicontohkan: “the arena, the tall tenement, the mass contests and exhibitions, . . . the constant titillation of the senses by sex, liquor, and violence” dan juga “magnifications of demoralized power” (Lewis Mumford, 1961: 234-242).
    Munculnya fenomena kota-kota baru tentu juga bisa dilihat sebagai fase kelahiran. Namun demikian, kota akan tetap mengalami fase-fase di atas karena kota tidak pernah tumbuh dan berkembang sekaligus. Artinya kota akan selalu berangsur-angsur terwujud dan berubah meskipun dirancang sebagai kota industri sekaligus. Dari situlah lapisan-lapisan sejarah mulai tertulis dan tersusun dengan baik. Ia terwujud oleh setiap jejak fisik di dalam kota hasil dari produk pengambilan keputusan oleh penghuni dan pengelolanya yang terakumulasi dari masa ke masa. Kota dalam sudut pandang ini, Mumford menyebutnya sebagai pita sejarah peradaban manusia yang paling lengkap.

DAFTAR PUSTAKA
Anthony J. Catanese, “History and Trends of Urban Planning” inIntroduction to Urban Planning, ed. Anthony J. Catanese and James C. Snyder (New York: McGraw-Hill Book Company, 1979), hal 4-8.
Gideon Sjoberg. “ The Preindustrial City “Past and Present
Lewis Mumford. “ The City in History “

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.